PERIODE RINTISAN PERTAMA (PONDOK SELAWE atau PONDOK TELU 1838 M)
Sekitar tahun 1825 di sebuah dusun Gedang desa Tambakrejo, datanglah seorang yang ‘alim, pendekar ulama atau ulama pendekar, bernama KYAI ABDUS SALAM namun lebih dikenal dengan panggilan MBAH SHOICHAH (bentakan yang membuat orang gemetar). Kedatangannya di dusun ini membawa misi untuk menyebarkan agama dan ilmu yang dimilikinya. Menurut silsilah, beliau termasuk keturunan Raja Brawijaya (kerajaan Majapahit).
Kyai Abdus Salam adalah putra kyai Abdul Jabbar bin (putra) kyai Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin (putra) kyai Abdurrohman (Joko Tingkir).
Kedatangan kyai Abdus Salam di desa ini semula masih merupakan hutan belantara, kurang lebih 13 tahun beliau bergelut dengan semak belukar dan kemudian dijadikan perkampungan yang dihuni oleh komunitas manusia. Setelah berhasil merubah hutan menjadi perkampungan, mulailah beliau membuat gubuk tempat berdakwah, yaitu sebuah pesantren kecil yang terdiri dari sebuah langgar, bilik kecil untuk santri dan tempat tinggal yang sederhana.
Pondok pesantren tersebut dikenal oleh masyarakat dengan sebutan pondok Selawe atau pondok Telu, dikarenakan jumlah santri yang berjumlah 25 orang dan jumlah bangunan yang hanya terdiri 3 lokal beserta mushollanya. Hal ini terjadi pada tahun 1838 M, kondisi tersebut adalah cikal bakal PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM.
Sementara itu, menurut versi yang lain, istilah 3 (telu) adalah merupakan representasi dari Pondok Selawe atau Pondok Telu yang mengembangkan ilmu-ilmu syari’at, hakikat dan kanuragan. Hal itu didasarkan pada manifestasi keilmuan mbah Shoichah sendiri yang mencakup ketiganya.
PERIODE RINTISAN KEDUA
Setelah kyai Shoichah (kyai Abdussalam) berusia lanjut (sepuh: bahasa jawa) tampuk pimpinan pondok Selawe atau pondok telu diserahkan kepada dua menantunya yang tidak lain adalah santrinya sendiri. Kedua menantunya tersebut adalah kyai Utsman dan kyai Sa’id. Dengan mendapat restu dari mertuanya, kyai Utsman dan kyai Sa’id menjadikan pondok menjadi dua cabang, hal ini dikarenakan jumlah santri yang semakin bertambah banyak.
Kyai Utsman mengembangkan pondok di dusun Gedang yang tidak jauh dari pesantren ayah mertuanya yaitu di sebelah timur sungai pondok pesantren, sedangkan kyai Sa’id mengembangkan pesantren di sebelah barat sungai.
Dalam penataan manajemen pendidikan pesantren yang diasuhnya, kyai Ustman lebih berkonsentrasi mengajarkan ilmu-ilmu thoriqot atau tasawuf, sedangkan Kyai Sa’id mengajarkan ilmu-ilmu syari’at.